Sabtu, 26 April 2014

Wahyu dan Akal Adalah Hujjah Untuk Manusia


(Oleh Ust. Candiki Repantu)

“Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi dan pergiliran malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk ulil al-bab. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring, dan senantiasa berpikir akan penciptaan langit dan bumi, (dan mereka berkesimpulan) Ya Tuhan kami, tiada kebatilan pada ciptaan ini, Maha Suci Engkau, maka jauhkanlah kami dari sikasa api neraka.” (Q.S. Ali Imran : 190-191)

Allah swt telah menetapkan dua hujjah bagi manusia, yang pertama di luar diri manusia yakni wahyu (al-Quran dan kenabian), sedangkan yang kedua di dalam diri manusia yaitu akal. Islam sebagai agama yang diyakini kesempurnaannya sudah selayaknya memberikan tempat kepada keduanya.

Wahyu merupakan sumber utama Islam. Ia menjadi inspirasi dan bahan yang tak pernah lapuk ditelan masa atau rapuh dimakan usia. Kandungan al-Quran tidak terbatas, karena pemahaman atasnya akan terus berkembang seiring perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan. Al-Quran adalah ayat Allah yang tersurat dan alam adalah ayat Allah yang terbentang, maka keduanya akan selalu selaras, serasi, dan sepadan. Penelitian kepada alam akan menghasilkan pemahaman baru kepada al-Quran, sedangkan pengkajian terhadap al-Quran akan memberi pijakan dan bahan dasar bagi penelitian alam semesta. Untuk itu, segala sesuatu yang dapat menghantarkan kita kepada pemahaman al-Quran yang baik haruslah kita pelajari sebagaimana pentingnya sarana dan ilmu pengetahuan untuk memahami alam semesta. Inilah keakraban wahyu dan akal dalam Islam.

Dengan semikian, wahyu dan akal akan benar-benar berfungsi sebagai hujjah bagi kekuatan Islam yang menjadi agama masa lalu, masa kini dan masa depan. Dengan keduanya kita akan mampu menjawab berbagai problematika zaman yang semakin nyata melindas manusia untuk lebih jauh dari nilai-nilai spiritual. 

Bagi sebagian pemikir, agama mulai terpinggirkan bahkan nyaris menemui kematian, yang salah satu sebab utamanya adalah apa yang disebut dengan saintisme . Selain itu virus-virus modernisme, materialisme, sekularisme, dan banyak lagi lainnya yang telah menjadi corak hidup masyarakat sekarang, jelas merupakan ancaman besar yang tidak bisa kita nafikan keberadaannya. Seluruh agama merasakan bahayanya, dan merespon sesuai dengan tingkat pemahamannya. Tak terkecuali Islam, seperti dikatakan Shabbir Akhtar bahwa akhir-akhir ini muncul gerakan-gerakan menentang tatanan semi sekuler yang semakin bertambah kuat. Semua tujuan gerakan tersebut adalah kejayaan monopoli Islam; banyak dari gerakan tersebut menimbulkan antusiasme temporer sebelum berakhir di keranjang sampah sejarah. 

Walaupun kritik di atas tidak lebih ingin menunjukkan suatu realitas, namun bukan berarti sikap optimis kita mesti pudar. Sebab bagaimanapun, Islam jika dipotensikan dengan baik akan mempunyai kesanggupan mendamaikan agama dan sains, wahyu dan akal. Namun, jika kita gagal, maka Islam tak lebih dari sekedar agama yang ‘dikeramatkan’. wallahu a'lam (Medan, 5 Ramadhan 1430 H)

Merajut Visi Kebebasan Dalam Beragama


(Oleh Ust. Candiki Repantu)

“Tidak ada paksaan dalam beragama; Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat” (Q.S. Al-Baqarah : 256)

Visi kebebasan beragama merupakan hal yang sangat jelas dalam ajaran Islam (Q.S. al-Baqarah: 256, al-Maidah: 48). Manusia bebas untuk memiliki keyakinan apapun yang dipilihnya. Tidak seorangpun berhak untuk menghina keyakinan orang lain, atau mengutuk, menuntut, dan menghukumnya. Firman Tuhan, “Tiada paksaan dalam beragama”, menunjukkan bahwa agama sangat berhubungan dengan akal dan hati. Ini berarti keyakinan dikonstruksi di atas dasar argumentasi akal dan penerimaan hati. Akal dan hati, keduanya hanya bisa ditundukkan dengan argumentasi dan sentuhan kasih, bukan tekanan yang dipaksakan. 

Sesuai dengan capaian para ahli, bahwa keyakinan merupakan konsepsi akal untuk menggapai pengetahuan tentang Wujud Mutlak (Tuhan). Akal yang mendapatkan kepuasan melalui burhan ash-shiddiqin (argumentasi yang benar) akan menghantarkannya untuk taslim (tunduk) pada hakikat kebenaran. Visi kebebasan beragama, memberikan tempat yang terbuka bagi setiap orang untuk mengemukakan apa yang diyakininya sebagai kebenaran tanpa manipulasi atau tekanan situasi. Hal ini diperoleh dengan kebebasan teologis dan kekondusifan sosiologis.

Begitu pula, selama berkaitan dengan akal dan hati, keyakinan tidak dikategorikan sebagai masalah hukum, sehingga kita tidak dapat mengatakannya sebagai legal atau ilegal. Keyakinan harus berpijak pada dalil. Sepanjang terdapat dalil yang mendukungnya, keyakinan akan tetap eksis. Jika dalil yang mendukungnya berubah, maka keyakinan juga akan menghilang. Jika dalil terbukti keliru, keyakinan juga akan mati. Jadi selama keberagamaan masih berhubungan dengan keyakinan hati dan jiwa, maka tidak ada hukum positif yang dapat menghakiminya. Namun, bila diekspresikan dalam tindakan sosial maka hukum legal dapat diterapkan.

Dengan begitu, visi kebebasan beragama mestilah dipandang sebagai suatu perspektif yang memahami dan menerima keragaman agama serta menghargainya dengan penuh kesadaran sehingga tidak ada saling curiga apalagi saling serang. Dengan demikian, visi kebebasan agama tidaklah berkeinginan menyeragamkan atau menyamakan semua agama-agama, melainkan menerima kemajemukan agama dengan apa adanya. Namun, agar tidak terjadi pengaburan nilai-nilai agama, ada beberapa poin penting yang harus diperhatikan : 

a. Memahami dan menerima keragaman agama, bukan berarti menerima keyakinan agama lain yang berbeda. Artinya, menerima keragaman dalam kebebasan beragama berarti kesediaan kita untuk menyatakan bahwa keyakinan engkau berbeda dengan keyakinanku, karenanya berbuatlah seperti keyakinan agamamu dan aku akan berbuat seperti keyakinan agamaku, atau dalam bahasa al-Quran “Bagimulah agamamu dan bagikulah agamaku” (Q.S. al-Kafirun: 5)

b. Menghargai keragaman agama bukan berarti membenarkan keyakinan agama yang bertentangan dengan agama yang dianut. Artinya, menyalahkan pandangan agama lain tidak dapat dikategorikan sebagai tidak menghormati agama orang lain. Karena, persoalan benar dan salah adalah persoalan ilmiah dan merupakan sifat daripada ilmu. Adapun, tidak menghargai lebih cenderung pada penghinaan dan pemaksaan agama, bukan kepada penyalahan keyakinan agama. al-Quran menyebutkan: “Tidak ada paksaan dalam agama; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat”. (Q.S. al-Baqarah: 256). 

Jadi, tidak adanya kecurigaan dan tidak saling serang antar agama bukan berarti menghilangkan nilai-nilai ilmiah dan akademis yang berpijak pada analisa rasional untuk mengungkap kebenaran dan kesalahan pemikiran keagamaan yang berkembang. Tuhan berfirman, “Apabila datang kepadamu orang yang fasik membawa berita, maka cek dan riceklah, agar kamu tidak menimpakan bencana kepada orang yang tidak berhak menerimanya.” (al-Quran) 

Islam yang dipandang penganutnya sebagai agama sempurna memberikan andil dalam membentuk seluruh elemen komunitasnya. Karena, agama pada dasarnya tidak muncul secara vakum kultural, maka ia memiliki andil besar bagi pembentukan sistem kultural. Jika kita boleh mengembangkan teori hermeneutikanya Nasr Hamid Abu Zaid (1994: 25), yang mengajukan tesis bahwa al-Quran diturunkan dalam dua tahap, yaitu tahap dibentuk oleh kultur (marhalah al-tasyakkul) dan tahap membentuk kultur (marhalah al-tasykil). 

Meskipun analisis Abu Zaid meninjau sisi linguistik tekstual al-Quran, tetapi dapat kita elaborasi untuk menjelaskan interaksi agama dan kultur. Artinya, kedua tahap tersebut mengindikasikan bahwa, di masa Nabi Muhammad saaw. agama hadir dan berinteraksi secara struktural dengan kultur Arab (Mekkah). Hasil interaksi tersebut menjadikan Islam, mampu mengadaptasi sekaligus menyeleksi dimensi kultural yang ada dari realitas sosial, bahasa, ataupun budaya yang dikembangkan oleh masyarakat pra maupun pasca Islam. Kemudian dengan kemampuan kreativitasnya, kaum muslimin selanjutnya melakukan transformasi kultural yang khas Islam. 

Karena itu, Visi kebebasan agama, dapat dikaitkan dengan kesatuan dalam perbedaan atau upaya mencari zona singgung dari adanya aneka jalur praktek beragama. Kebebasan beragama ini dapat diwujudkan, ketika masing-masing penganut agama (atau mazhab) yang beraneka ragam di samping menegaskan identitas mazhab atau agamanya, juga siap pula menegaskan identitas mazhab atau agama lain yang berbeda dengannya. 

Selain itu, visi kebebasan beragama ini selaras dengan prinsip penting lainnya seperti kebebasan manusia (ikhtiari), prinsip tanggung jawab (taklif), prinsip keadilan (al-adl), dan prinsip kebijaksanaan (al-hikmah). Dengan semua prinsip ini, manusia mendapatkan keluasan dan keleluasaan untuk mengkaji, meneliti, dan memahami, hingga akhirnya menentukan mazhab atau agama pilihan yang sesuai dengan akal dan hati nuraninya. Wallahu a’lam bi al-shawab. (Medan, 04 Ramadhan 1430 H)

Jauhkan Al Quran dari Umat Islam !!!

(Oleh Ustadz Candiki Repantu)

Bismillah
Allahuma shalli ala muhammad wa aali muhammad

“Sesungguhnya Al Quran Ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus 
dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh 
bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (Q.S. al-Isra : 9)

Napoleon Bonaparte adalah penguasa Perancis yang menaklukkan Mesir. Dia bertanya, ‘Dimanakah markas kaum muslimin?” Orang-orang menjawad, “Di Mesir”.

Sebagai seorang penakluk, maka ia bersama pasukannya bergerak menuju Mesir, disertai seorang penerjemah Arab. Sesampainya di Mesir, dia bersama penerjemahnya itu langsung menuju perpustakaan. Dia berkata kepada sang penerjemah, “Bacakan salah satu buku ini untukku.”

Si penerjemah mengambil salah satu buku di antara sederet buku yang ada, dan ternyata ia mengambil al-Quran. Lembar pertama yang dibukanya membuatnya terpesona; ia membacakan ayat ini kepada Napoleon : “Sesungguhnya Al Quran Ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (Q.S. al-Isra : 9)

Napoleon keluar dari perpustakaan. Dari malam hingga pagi, dia terus memikirkan ayat tersebut. Setelah terjaga dari tidurnya di pagi hari, untuk kedua kalinya, dia langsung ke perpustakaan. Dia meminta kepada penerjemahnya untuk membacakan al-Quran kembali. Si penerjemah membuka al-Quran, membacakan beberapa ayat dan mengartikannya. Setelah itu, Napoleon kembali ke rumahnya. Malam harinya, ia terus tenggelam dalam lamunan tentang al-Quran itu.

Hari ketiga, dia kembali lagi ke perpustakaan. Atas permintaan Napoleon, si penerjemah langsung membacakan beberapa ayat dan menerjemahkannya. Mereka berdua kemudian keluar dari perpustakaan. Napoleon bertanya, ‘Berkaitan dengan agama manakah buku ini?’ Si Penerjemah menjawab, “Ini adalah kitab orang-orang Islam, dan mereka berkeyakinan bahwa al-Quran ini telah diturunkan dari langit kepada Nabi besar mereka.”

Napoleon lantas berkomentar penting, yang mana ucapannya itu menguntungkan kaum muslimin, sekaligus membahayakan mereka. Napoleon berkata, “Aku telah belajar dari buku ini, dan aku merasa bahwa apabila kaum muslimin mengamalkan aturan-aturan buku ini, maka niscaya mereka tidak akan pernah terhinakan. Selama al-Quran ini berkuasa di tengah-tengah kaum muslimin, dan mereka hidup di bawah naungan ajaran-ajarannya yang sangat istimewa, maka kaum muslimin tidak akan tunduk kepada kita, kecuali kita pisahkan antara mereka dengan al-Quran.” 

Itulah cita-cita Napoleon Bonaparte, yaitu , ‘menjauhkan umat Islam dari al-Quran’, dan dia berhasil melaksanakannya. Hasilnya, kaum muslimin mundur dan mengalami kekalahan di seluruh dunia, ilmu pengetahuannya mengalami kemunduran, dan tingkah lakunya jauh dari etika islami. 

Cita-cita Napoleon dilanjutkan oleh Gladstone, salah seorang arsitek imperialisme Inggris. Gladstone membawa al-Quran ke dalam gedung parlemen Inggris, dan sambil mengangkat al-Quran dia berkata, “Selama orang-orang Mesir itu memegang buku ini di tangan mereka, kita tidak akan menikmati kedamaian di negeri ini”.

Tujuan musuh-musuh Islam adalah menjauhkan umat Islam dari al-Quran. Sebab, saat manusia dijajah, al-Quran mengajak manusia untuk merdeka; saat manusia hidup dalam kebodohan, al-Quran mengajak pada ilmu pengetahuan; saat manusia membunuh anak perempuan, al-Quran mengajak menghormati para perempuan; saat manusia berbuat kezaliman, al-Quran mengajak menegakkan keadilan; saat orang-orang kaya menindas orang-orang miskin, al-Quran mengajak orang miskin mengambil bagian mereka dari orang-orang kaya; saat orang menjual belikan budak, al-Quran memerintahkan membebaskan budak. Saat manusia sibuk mencari kenikmatan dunia, al-Quran menyatakan agar umat Islam berdoa ‘Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia, dan kehidupan baik di akhirat, dan jauhkanlah kami dari siksa api neraka.”

Imam Ali bin Abi Thalib yang merupakan pintu ilmu kenabian menyebutkan keutamaan membaca al-Quran sebagai berikut :
“Ketahuilah bahwa al-Quran ini adalah pemberi nasehat yang tidak akan memperbayai, pemberi petunjuk yang tidak akan menyesatkan, dan pembicara yang tidak akan pernah berbohong. Siapa saja yang menekuni al-Quran, maka akan terjadi hal pada dirinya, yaitu penambahan dan pengurangan. Yakni, bertambahnya hidayah dan berkurangnya kebodohan pada dirinya. Dan ketahuilah bahwa tidak ada seorang pun yang setelah mempelajari al-Quran akan mengalami kesulitan, dan tidak seorangpun sebelum mempelajari al-Quran akan merasa berkecukupan. Jadikanlah al-Quran sebagai penawar sakit bagimu, dan mintalah pertolongan kepadanya. Sesungguhnya dalam al-Quran terdapat penawar penyakit bagi sakit yang paling parah sekalipun, seperti kufur, nifak, dan kesesatan. Mohonlah kepada Allah swt dan menghadaplah kepada-Nya dengan penuh rasa cinta.” 

Sekarang kita bebas memilih, mengikuti nasehat Napoleon, yaitu ‘menjauhkan diri dari al-Quran’ atau tetap bersama al-Quran dengan mengikuti nasehat Rasulullah saaw, ‘Siapa yang ingin mendapatkan ilmu pengetahuan tentang masa lalu dan masa depan, maka bacalah al-Quran”. wallahu a'lam (Medan, 02 Ramadhan 1430 H)

Manusia dan Agama (Ust. Candiki Repantu)


Bismihi Ta'la
Allahumma shalli 'ala Muhammad wa aali Muhammad

Al-Quran menyebutkan bahwa beragama merupakan fitrah manusia, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah)agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Q.S. al-Rum: 30).

Rasulullah saaw bersabda : “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Orang tuanyalah yang akan menjadikan ia sebagai yahudi atau nasrani.” (al-Majlisi, Bihar al-Anwar juz 3. h. 178)
Saat menjelaskan ayat di atas, Imam Ja’far Shadiq as. menyatakan bahwa fitrah itu berarti tauhid (mengesakan Tuhan), Islam, dan juga ma’rifah (mengenal Tuhan). (Lihat Al-Kulaini, Al-Kafi Jilid 2, h. 12-13; al-Majlisi, Bihar al-Anwar juz 3, h. 175-178).

Imam Khumaini menambahkan bahwa yang dimaksud dengan fitrah Allah yang semua manusia tercipta dengannya adalah kondisi dan kualitas penciptaan manusia. Semua manusia, tanpa terkecuali, tercipta dengan fitrah itu sebagai konsekuensi keberadaannya. Fitrah ini telah terkait erat dengan esensi wujudnya. Fitrah adalah salah satu rahmat Allah Swt. yang khusus dianugerahkan kepada manusia. (Imam Khomeini. 40 Hadis: h. 207).

Para ahli tafsir menjelaskan bahwa : seluruh manusia memiliki jiwa keberagamaan yang tertanam dalam dan tidak bisa dihilangkan. Maksud dari dîn (agama) dalam ayat ini bisa berarti sekumpulan ajaran-ajaran dan hukum-hukum pokok Islam, atau kondisi penyerahan diri dan tunduk secara total di hadapan Allah. Alhasil, dari ayat di atas dapat dipahami bahwa mengenal Tuhan dan meyembahnya adalah hal yang bersifat fitri dan telah dibawa sejak lahir. jadi, manusia adalah makhluk beragama. (Lihat Allamah Thabathabai. Tafsir al-Mizan Jilid 16. h. 182-186; Nashir Makarim Syirazi. Tafsir al-Amtsal Jilid 12. h. 471-473). 

Begitu pula, di alam gaib, sebelum manusia dilahirkan, dalam suatu acara ‘tatap muka’, ia bersaksi akan keberadaan dan keesaan allah. Allah berfirman : “Dan (ingatlah) Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Benar (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar pada hari kiamat nanti kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lalai terhadap ini (keesaan Tuhan).’ (Q.S. al-A’raf: 172) 

Makna ayat ini berarti bahwa sebelum manusia dilahirkan ke alam dunia, mereka terlebih dahulu dikumpulkan di alam gaib (malakuti) untuk memberikan kesaksian atas keberadaan dan keesaan Allah swt. Kesaksian mereka menjadi mitsaq (perjanjian) langsung dengan Allah swt. yang mengikat hingga sampai hari akhir nanti dan harus dipertanggungjawabkan, dimana manusia tidak dapat mengingkarinya dengan alasan apapun. Ini berarti bahwa setiap orang secara genetik telah cenderung mengakui adanya Tuhan. (Lihat Yazdi. Filsafat Tauhid, h. 45-47; Allamah Thabathabai. Tafsir al-Mizan jilid 8, h. 311-330; Syeikh Nashir Makarim Syirazi, Tafsir al-Amtsal jilid 5, h. 262-267; Fakhr al-Razi, Tafsir al-Kabir jilid 15, h. 40-49; Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Quran jilid 3, h. 670) 

Pandangan al-Quran ini diakui oleh banyak ilmuwan yang saat ini. Mereka menyatakan bahwa manusia dilahirkan membawa jiwa keagamaan, dan baru berfungsi kemudian setelah melalui bimbingan dan latihan sesuai dengan tahap perkembangan jiwanya. Will Durant misalnya, mengatakan : “agama merupakan suatu perkara yang alamiah, lahir secara lansung dari kebutuhan dan perasaan instinktif kita” (Religion is a natural matter, born directly of our instinctive needs and feelings). 

Alexis Carrel menulis : ‘Perasaan beragama terpancar dalam diri manusia sebagai insting dasar. Manusia, sebagaimana ia membutuhkan air bagi kehidupan, begitu pula ia membutuhkan Tuhan” (The mistic sense is the stirring deep within us of a basic instinct. Man, just as he needs water, solikewise needs God).

Sayid Mujtaba Musawi Lari menyebutkan ada empat pembawan dasar manusia, yaitu : 1. Perasaan beragama (religious sense) 2. Kebenaran (truth), 3. Kebaikan (goodness), 4. Keindahan (beauty). (lihat Musawi Lari, Knowing God, h. 20; Musawi Lari. Ushul al-Aqaid fi al-Islam Juz I. h. 28-29)

Fitrah manusia dibagi dua pada dasarnya di bagi pada dua jenis :
1. Fitrah akal (aqliah) yang merupakan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia tanpa dipelajari (badihiyât awwaliyah)
2. Fitrah iman, kecenderungan dan keinginan untuk beribadah dan menyembah Tuhan.

Adapun ciri-ciri fitrah adalah :
a. Fitrah merupakan pemberian Allah dan format penciptaan.
b. Fitrah bersifat universal yakni terdapat pada setiap wujud manusia. 
c. Fitrah tidak dapat dilenyapkan (meskipun sering disembunyikan) dan akan senantiasa ada selama manusia hidup. 
d. Fitrah tidak diperoleh dari proses belajar, meskipun untuk memperkuat dan mengarahkannya proses pendidikan sangat diperlukan. 

Dengan demikian, fitrah mengenal Tuhan telah terdapat dalam diri manusia secara langsung yang menjadi model sekaligus modal khusus bagi dirinya. Terdapat ruang di dalam hati manusia untuk mengenal Tuhan secara sadar dan mempunyai potensi untuk dikembangkan dengan menggunakan dalil-dalil akal yang argumentatif. ‘Jika akal menemukan Tuhan dengan keteraturan dan pemikiran, maka rasa keberagamaan menemukan Tuhan dengan cinta’, ucapk Sayid Mujtaba Musawi Lari. Muhammad Taqi Falsafi menambahkan, “selama di muka bumi masih terdapat manusia, selama masih terdapat fitrah, niscaya cahaya tersebut tak akan pernah padam.” Jadi, agama adalah fitrah yang telah tertanam kuat pada diri manusia, bukan hasil rekayasa budaya dan ilmu. Fitrah tersebut merupakan model penciptaan yang tak bisa diubah dan dihilangkan, walaupun ia dapat ditekan dan disembunyikan. Cahaya keimanan terus membara dalam kalbu umat manusia, karena sumber cahaya yang membara ini adalah fitrah manusia. Wallahu a'lam (Medan, 1 Ramadhan 2009)

Minggu, 20 April 2014

Biografi Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu’anhu

 
Penulis: Syaikh ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah As Suhaim hafizhahullah
Nama
Nama beliau -menurut pendapat yang shahih- adalah Abdullah bin ‘Utsman bin ‘Amir bin ‘Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taiym bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay Al Qurasyi At Taimi.
Kun-yah
Beliau memiliki kun-yah: Abu Bakar
Laqb (Julukan)
Beliau dijuluki dengan ‘Atiq (عتيق) dan Ash Shiddiq (الصدِّيق).
Sebagian ulama berpendapat bahwa alasan beliau dijuluki ‘Atiq karena beliau tampan. Sebagian mengatakan karena beliau berwajah cerah. Pendapat lain mengatakan karena beliau selalu terdepan dalam kebaikan. Sebagian juga mengatakan bahwa ibu beliau awalnya tidak kunjung hamil, ketika ia hamil maka ibunya berdoa,
اللهم إن هذا عتيقك من الموت ، فهبه لي
Ya Allah, jika anak ini engkau bebaskan dari maut, maka hadiahkanlah kepadaku
Dan ada beberapa pendapat lain.
Sedangkan julukan Ash Shiddiq didapatkan karena beliau membenarkan kabar dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan kepercayaan yang sangat tinggi. Sebagaimana ketika pagi hari setelah malam Isra Mi’raj, orang-orang kafir berkata kepadanya: ‘Teman kamu itu (Muhammad) mengaku-ngaku telah pergi ke Baitul Maqdis dalam semalam’. Beliau menjawab:
 إن كان قال فقد صدق
Jika ia berkata demikian, maka itu benar
Allah Ta’ala pun menyebut beliau sebagai Ash Shiddiq:
وَالَّذِي جَاء بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan yang membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa” (QS. Az Zumar: 33)
Tafsiran para ulama tentang ayat ini, yang dimaksud ‘orang yang datang membawa kebenaran’ (جَاء بِالصِّدْقِ) adalah Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam dan yang dimaksud ‘orang yang membenarkannya’ (صَدَّقَ بِهِ) adalah Abu Bakar Radhiallahu’anhu.
Beliau juga dijuluki Ash Shiddiq karena beliau adalah lelaki pertama yang membenarkan dan beriman kepada Nabi Muhammad  Shallallahu’alaihi Wasallam. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam telah menamai beliau dengan Ash Shiddiq sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Bukhari:
عن أنس بن مالك رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم صعد أُحداً وأبو بكر وعمر وعثمان ، فرجف بهم فقال : اثبت أُحد ، فإنما عليك نبي وصديق وشهيدان
“Dari Anas bin Malik Radhiallahu’anhu bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menaiki gunung Uhud bersama Abu Bakar, Umar dan ‘Utsman. Gunung Uhud pun berguncang. Nabi lalu bersabda: ‘Diamlah Uhud, di atasmu ada Nabi, Ash Shiddiq (yaitu Abu Bakr) dan dua orang Syuhada’ (‘Umar dan ‘Utsman)
Kelahiran
Beliau dilahirkan 2 tahun 6 bulan setelah tahun gajah.
Ciri Fisik
Beliau berkulit putih, bertubuh kurus, berambut lebat, tampak kurus wajahnya, dahinya muncul, dan ia sering memakai hinaa dan katm.
Jasa-jasa
  • Jasanya yang paling besar adalah masuknya ia ke dalam Islam paling pertama.
  • Hijrahnya beliau bersama Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
  • Ketegaran beliau ketika hari wafatnya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
  • Sebelum terjadi hijrah, beliau telah membebaskan 70 orang yang disiksa orang kafir karena alasan bertauhid kepada Allah. Di antara mereka adalah Bilal bin Rabbaah, ‘Amir bin Fahirah, Zunairah, Al Hindiyyah dan anaknya, budaknya Bani Mu’ammal, Ummu ‘Ubais
  • Salah satu jasanya yang terbesar ialah ketika menjadi khalifah beliau memerangi orang-orang murtad
Abu Bakar adalah lelaki yang lemah lembut, namun dalam hal memerangi orang yang murtad, beliau memiliki pendirian yang kokoh. Bahkan lebih tegas dan keras daripada Umar bin Khattab yang terkenal akan keras dan tegasnya beliau dalam pembelaan terhadap Allah. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits Abu Hurairah Radhiallahu’anhu:
لما توفى النبي صلى الله عليه وسلم واستُخلف أبو بكر وكفر من كفر من العرب قال عمر : يا أبا بكر كيف تقاتل الناس وقد قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : أمِرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا لا إله إلا الله ، فمن قال لا إله إلا الله عصم مني ماله ونفسه إلا بحقه وحسابه على الله ؟ قال أبو بكر : والله لأقاتلن من فرق بين الصلاة والزكاة ، فإن الزكاة حق المال ، والله لو منعوني عناقا كانوا يؤدونها إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم لقاتلتهم على منعها . قال عمر : فو الله ما هو إلا أن رأيت أن قد شرح الله صدر أبي بكر للقتال فعرفت أنه الحق
Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam wafat, dan Abu Bakar menggantikannya, banyak orang yang kafir dari bangsa Arab. Umar berkata: ‘Wahai Abu Bakar, bisa-bisanya engkau memerangi manusia padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Laa ilaaha illallah, barangsiapa yang mengucapkannya telah haram darah dan jiwanya, kecuali dengan hak (jalan yang benar). Adapun hisabnya diserahkan kepada Allah?’ Abu Bakar berkata: ‘Demi Allah akan kuperangi orang yang membedakan antara shalat dengan zakat. Karena zakat adalah hak Allah atas harta. Demi Allah jika ada orang yang enggan membayar zakat di masaku, padahal mereka menunaikannya di masa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, akan ku perangi dia’. Umar berkata: ‘Demi Allah, setelah itu tidaklah aku melihat kecuali Allah telah melapangkan dadanya untuk memerangi orang-orang tersebut, dan aku yakin ia di atas kebenaran‘”
Begitu tegas dan kerasnya sikap beliau sampai-sampai para ulama berkata:
نصر الله الإسلام بأبي بكر يوم الردّة ، وبأحمد يوم الفتنة
“Allah menolong Islam melalui Abu Bakar di hari ketika banyak orang murtad, dan melalui Ahmad (bin Hambal) di hari ketika terjadi fitnah (khalqul Qur’an)”
Abu Bakar pun memerangi orang-orang yang murtad dan orang-orang yang enggan membayar zakat ketika itu
  • Musailamah Al Kadzab dibunuh di masa pemerintahan beliau
  • Beliau mengerahkan pasukan untuk menaklukan Syam, sebagaimana keinginan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Dan akhirnya Syam pun di taklukan, demikian juga Iraq.
  • Di masa pemerintahan beliau, Al Qur’an dikumpulkan. Beliau memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkannya.
  • Abu Bakar adalah orang yang bijaksana. Ketika ia tidak ridha dengan dilepaskannya Khalid bin Walid, ia berkata:
والله لا أشيم سيفا سله الله على عدوه حتى يكون الله هو يشيمه
Demi Allah, aku tidak akan menghunus pedang yang Allah tujukan kepada musuhnya sampai Allah yang menghunusnya” (HR. Ahmad dan lainnya)
Ketika masa pemerintahan beliau, terjadi peperangan. Beliau pun bertekad untuk pergi sendiri memimpin perang, namun Ali bin Abi Thalib memegang tali kekangnya dan berkata: ‘Mau kemana engkau wahai khalifah? Akan kukatakan kepadamu perkataan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika perang Uhud:
شِـمْ سيفك ولا تفجعنا بنفسك . وارجع إلى المدينة ، فو الله لئن فُجعنا بك لا يكون للإسلام نظام أبدا
Simpanlah pedangmu dan janganlah bersedih atas keadaan kami. Kembalilah ke Madinah. Demi Allah, jika keadaan kami membuatmu sedih Islam tidak akan tegak selamanya‘. Lalu Abu Bakar Radhiallahu’anhu pun kembali dan mengutus pasukan.
  • Beliau juga sangat mengetahui nasab-nasab bangsa arab
Keutamaan
Tidak ada lelaki yang memiliki keutaman sebanyak keutamaan Abu Bakar Radhiallahu’anhu
1. Abu Bakar Ash Shiddiq adalah manusia terbaik setelah Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam dari golongan umat beliau
Ibnu ‘Umar Radhiallahu’anhu berkata:
كنا نخيّر بين الناس في زمن النبي صلى الله عليه وسلم ، فنخيّر أبا بكر ، ثم عمر بن الخطاب ، ثم عثمان بن عفان رضي الله عنهم
Kami pernah memilih orang terbaik di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Kami pun memilih Abu Bakar, setelah itu Umar bin Khattab, lalu ‘Utsman bin Affan Radhiallahu’anhu” (HR. Bukhari)
Dari Abu Darda Radhiallahu’anhu, ia berkata:
كنت جالسا عند النبي صلى الله عليه وسلم إذ أقبل أبو بكر آخذا بطرف ثوبه حتى أبدى عن ركبته فقال النبي صلى الله عليه وسلم : أما صاحبكم فقد غامر . وقال : إني كان بيني وبين ابن الخطاب شيء ، فأسرعت إليه ثم ندمت فسألته أن يغفر لي فأبى عليّ ، فأقبلت إليك فقال : يغفر الله لك يا أبا بكر – ثلاثا – ثم إن عمر ندم فأتى منزل أبي بكر فسأل : أثَـمّ أبو بكر ؟ فقالوا : لا ، فأتى إلى النبي فجعل وجه النبي صلى الله عليه وسلم يتمعّر ، حتى أشفق أبو بكر فجثا على ركبتيه فقال : يا رسول الله والله أنا كنت أظلم – مرتين – فقال النبي صلى الله عليه وسلم : إن الله بعثني إليكم فقلتم : كذبت ، وقال أبو بكر : صَدَق ، وواساني بنفسه وماله ، فهل أنتم تاركو لي صاحبي – مرتين – فما أوذي بعدها
“Aku pernah duduk di sebelah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Tiba-tiba datanglah Abu Bakar menghadap Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sambil menjinjing ujung pakaiannya hingga terlihat lututnya. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berkata: ‘Sesungguhnya teman kalian ini sedang gundah‘. Lalu Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, antara aku dan Ibnul Khattab terjadi perselisihan, aku pun segera mendatanginya untuk meminta maaf, kumohon padanya agar memaafkan aku namun dia enggan memaafkanku, karena itu aku datang menghadapmu sekarang’. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam lalu berkata: ‘“Semoga Allah mengampunimu wahai Abu Bakar‘. Sebanyak tiga kali, tak lama setelah itu Umar menyesal atas perbuatannya, dan mendatangi rumah Abu Bakar sambil bertanya, “Apakah di dalam ada Abu Bakar?” Namun keluarganya menjawab, tidak. Umar segera mendatangi Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Sementara wajah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam terlihat memerah karena marah, hingga Abu Bakar merasa kasihan kepada Umar dan memohon sambil duduk di atas kedua lututnya, “Wahai Rasulullah Demi Allah sebenarnya akulah yang bersalah”, sebanyak dua kali. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya ketika aku diutus Allah kepada kalian, ketika itu kalian mengatakan, ”Engkau pendusta wahai Muhammad”, Sementara Abu Bakar berkata, ”Engkau benar wahai Muhammad”. Setelah itu dia membelaku dengan seluruh jiwa dan hartanya. Lalu apakah kalian tidak jera menyakiti sahabatku?‘ sebanyak dua kali. Setelah itu Abu Bakar tidak pernah disakiti” (HR. Bukhari)
Beliau juga orang yang paling pertama beriman kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, menemani Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan membenarkan perkataannya. Hal ini terus berlanjut selama Rasulullah tinggal di Mekkah, walaupun banyak gangguan yang datang. Abu Bakar juga menemani Rasulullah ketika hijrah.
2. Abu Bakar Ash Shiddiq adalah orang yang menemani Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam di gua ketika dikejar kaum Quraisy
Allah Ta’ala berfirman,
ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لاَ تَحْزَنْ إِنَّ اللّهَ مَعَنَا
Salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah beserta kita”” (QS. At Taubah: 40)
As Suhaili berkata: “Perhatikanlah baik-baik di sini Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam  berkata ‘janganlah kamu bersedih’ namun tidak berkata ‘janganlah kamu takut’ karena ketika itu rasa sedih Abu Bakar terhadap keselamatan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sangat mendalam sampai-sampai rasa takutnya terkalahkan”.
Dalam Shahih Bukhari dan Muslim, dari hadits Anas bin Malik Radhiallahu’anhu, Abu Bakar berkata kepadanya:
نظرت إلى أقدام المشركين على رؤوسنا ونحن في الغار فقلت : يا رسول الله لو أن أحدهم نظر إلى قدميه أبصرنا تحت قدميه . فقال : يا أبا بكر ما ظنك باثنين الله ثالثهما
Ketika berada di dalam gua, aku melihat kaki orang-orang musyrik berada dekat dengan kepala kami. Aku pun berkata kepada Rasulullah: ‘Wahai Rasulullah, kalau di antara mereka ada yang melihat kakinya, mereka akan melihat kita di bawah kaki mereka’. Rasulullah berkata: ‘Wahai Abu Bakar, engkau tidak tahu bahwa bersama kita berdua yang ketiga adalah Allah’
Ketika hendak memasuki gua pun, Abu Bakar masuk terlebih dahulu untuk memastikan tidak ada hal yang dapat membahayakan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Juga ketika dalam perjalanan hijrah, Abu Bakar terkadang berjalan di depan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, terkadang di belakangnya, terkadang di kanannya, terkadang di kirinya.
Oleh karena itu ketika masa pemerintahan Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu ada sebagian orang yang menganggap Umar lebih utama dari Abu Bakar, maka Umar Radhiallahu’anhu pun berkata:
والله لليلة من أبي بكر خير من آل عمر ، وليوم من أبي بكر خير من آل عمر ، لقد خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم لينطلق إلى الغار ومعه أبو بكر ، فجعل يمشي ساعة بين يديه وساعة خلفه ، حتى فطن له رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : يا أبا بكر مالك تمشي ساعة بين يدي وساعة خلفي ؟ فقال : يا رسول الله أذكر الطلب فأمشي خلفك ، ثم أذكر الرصد فأمشي بين يديك . فقال :يا أبا بكر لو كان شيء أحببت أن يكون بك دوني ؟ قال : نعم والذي بعثك بالحق ما كانت لتكون من مُلمّة إلا أن تكون بي دونك ، فلما انتهيا إلى الغار قال أبو بكر : مكانك يا رسول الله حتى استبرئ الجحرة ، فدخل واستبرأ ، قم قال : انزل يا رسول الله ، فنزل . فقال عمر : والذي نفسي بيده لتلك الليلة خير من آل عمر
Demi Allah,  satu malamnya Abu Bakar lebih baik dari satu malamnya keluarga Umar, satu harinya Abu Bakar masih lebih baik dari seharinya keluarga Umar. Abu Bakar bersama Rasulullah pergi ke dalam gua. Ketika berjalan, dia terkadang berada di depan Rasulullah dan terkadang di belakangnya. Sampai-sampai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam heran dan berkata: ‘Wahai Abu Bakar mengapa engkau berjalan terkadang di depan dan terkadang di belakang?’. Abu Bakar berkata: ‘Ya Rasulullah, ketika saya sadar kita sedang dikejar, saya berjalan di belakang. Ketika saya sadar bahwa kita sedang mengintai, maka saya berjalan di depan’. Rasulullah lalu berkata: ‘Wahai Abu Bakar, kalau ada sesuatu yang aku suka engkau saja yang melakukannya tanpa aku?’ Abu Bakar berkata: ‘Demi Allah, tidak ada yang lebih tepat melainkan hal itu aku saja yang melakukan tanpa dirimu’. Ketika mereka berdua sampai di gua, Abu Bakar berkata: ‘Ya Rasulullah aku akan berada di tempatmu sampai memasuki gua. Kemudian mereka masuk, Abu Bakar berkata: Turunlah wahai Rasulullah. Kemudian mereka turun. Umar berkata: ‘Demi Allah, satu malamnya Abu Bakar lebih baik dari satu malamnya keluarga Umar’‘” (HR. Al Hakim, Al Baihaqi dalam Dalail An Nubuwwah)
3. Ketika kaum muslimin hendak berhijrah, Abu Bakar Ash Shiddiq menyumbangkan seluruh hartanya.  (Dalilnya disebutkan pada poin 8, pent.)
4. Abu Bakar Ash Shiddiq adalah khalifah pertama
Dan kita diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam untuk meneladani khulafa ar rasyidin, sebagaimana sabda beliau:
عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي عضوا عليها بالنواجذ
Hendaknya kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah khulafa ar rasyidin setelahku. Gigitlah dengan gigi geraham kalian” (HR. Ahmad, At Tirmidzi dan lainnya. Hadits ini shahih dengan seluruh jalannya)
5. Abu Bakar Ash Shiddiq dipilih sebagai khalifah berdasarkan nash
Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sakit keras, beliau memerintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam shalat berjama’ah. Dalam Shahihain, dari ‘Aisyah Radhiallahu’anha ia berkata:
لما مَرِضَ النبيّ صلى الله عليه وسلم مرَضَهُ الذي ماتَ فيه أَتاهُ بلالٌ يُؤْذِنهُ بالصلاةِ فقال : مُروا أَبا بكرٍ فلْيُصَلّ . قلتُ : إنّ أبا بكرٍ رجلٌ أَسِيفٌ [ وفي رواية : رجل رقيق ] إن يَقُمْ مَقامَكَ يبكي فلا يقدِرُ عَلَى القِراءَةِ . قال : مُروا أَبا بكرٍ فلْيُصلّ . فقلتُ مثلَهُ : فقال في الثالثةِ – أَوِ الرابعةِ – : إِنّكنّ صَواحبُ يوسفَ ! مُروا أَبا بكرٍ فلْيُصلّ ، فصلّى
Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sakit menjelang wafat, Bilal datang meminta idzin untuk memulai shalat. Rasulullah bersabda: ‘Perintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam dan shalatlah’. ‘Aisyah berkata: ‘Abu Bakar itu orang yang terlalu lembut, kalau ia mengimami shalat, ia mudah menangis. Jika ia menggantikan posisimu, ia akan mudah menangis sehingga sulit menyelesaikan bacaan Qur’an. Nabi tetap berkata: ‘Perintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam dan shalatlah’. ‘Aisyah lalu berkata hal yang sama, Rasulullah pun mengatakan hal yang sama lagi, sampai ketiga atau keempat kalinya Rasulullah berkata: ‘Sesungguhnya kalian itu (wanita) seperti para wanita pada kisah Yusuf, perintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam dan shalatlah’
Oleh karena itu Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu berkata:
أفلا نرضى لدنيانا من رضيه رسول الله صلى الله عليه وسلم لديننا
Apakah kalian tidak ridha kepada Abu Bakar dalam masalah dunia, padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah ridha kepadanya dalam masalah agama?
Juga diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiallahu’anha, ia berkata:
قال لي رسول الله صلى الله عليه وسلم في مرضه : ادعي لي أبا بكر وأخاك حتى اكتب كتابا ، فإني أخاف أن يتمنى متمنٍّ ويقول قائل : أنا أولى ، ويأبى الله والمؤمنون إلا أبا بكر وجاءت امرأة إلى النبي صلى الله عليه وسلم فكلمته في شيء فأمرها بأمر ، فقالت : أرأيت يا رسول الله إن لم أجدك ؟ قال : إن لم تجديني فأتي أبا بكر
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkata kepadaku ketika beliau sakit, panggilah Abu Bakar dan saudaramu agar aku dapat menulis surat. Karena aku khawatir akan ada orang yang berkeinginan lain (dalam masalah khilafah) sehingga ia berkata: ‘Aku lebih berhak’. Padahal Allah dan kaum mu’minin menginginkan Abu Bakar (yang menjadi khalifah). Kemudian datang seorang perempuan kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengatakan sesuatu, lalu Nabi memerintahkan sesuatu kepadanya. Apa pendapatmu wahai Rasulullah kalau aku tidak menemuimu? Nabi menjawab: ‘Kalau kau tidak menemuiku, Abu Bakar akan datang’” (HR. Bukhari-Muslim)
6. Umat Muhammad diperintahkan untuk meneladani Abu Bakar Ash Shiddiq
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
اقتدوا باللذين من بعدي أبي بكر وعمر
Ikutilah jalan orang-orang sepeninggalku yaitu Abu Bakar dan Umar” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Maajah, hadits ini shahih)
7. Abu Bakar Ash Shiddiq adalah salah seorang mufti di masa Nabi Muhammad
Oleh karena itu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menugasi beliau sebagai Amirul Hajj pada haji sebelum haji Wada’. Diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu:
بعثني أبو بكر الصديق في الحجة التي أمره عليها رسول الله صلى الله عليه وسلم قبل حجة الوداع في رهط يؤذنون في الناس يوم النحر : لا يحج بعد العام مشرك ، ولا يطوف بالبيت عريان
Abu Bakar Ash Shiddiq mengutusku untuk dalam sebuah ibadah haji yang terjadi sebelum haji Wada’, dimana beliau ditugaskan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam untuk menjadi Amirul Hajj. Ia mengutusku untuk mengumumkan kepada sekelompok orang di hari raya idul adha bahwa tidak boleh berhaji setelah tahunnya orang musyrik dan tidak boleh ber-thawaf di ka’bah dengan telanjang”
Abu Bakar juga sebagai pemegang bendera Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ketika perang Tabuk.
8. Abu Bakar Ash Shiddiq menginfaqkan seluruh hartanya ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menganjurkan sedekah
Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu berkata:
أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن نتصدق ، فوافق ذلك مالاً فقلت : اليوم أسبق أبا بكر إن سبقته يوما . قال : فجئت بنصف مالي ، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ما أبقيت لأهلك ؟ قلت : مثله ، وأتى أبو بكر بكل ما عنده فقال : يا أبا بكر ما أبقيت لأهلك ؟ فقال : أبقيت لهم الله ورسوله ! قال عمر قلت : والله لا أسبقه إلى شيء أبدا
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan kami untuk bersedekah, maka kami pun melaksanakannya. Umar berkata: ‘Semoga hari ini aku bisa mengalahkan Abu Bakar’. Aku pun membawa setengah dari seluruh hartaku. Sampai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bertanya: ‘Wahai Umar, apa yang kau sisakan untuk keluargamu?’. Kujawab: ‘Semisal dengan ini’. Lalu Abu Bakar datang membawa seluruh hartanya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lalu bertanya: ‘Wahai Abu Bakar, apa yang kau sisakan untuk keluargamu?’. Abu Bakar menjawab: ‘Ku tinggalkan bagi mereka, Allah dan Rasul-Nya’. Umar berkata: ‘Demi Allah, aku tidak akan bisa mengalahkan Abu Bakar selamanya’” (HR. Tirmidzi)
9. Abu Bakar Ash Shiddiq adalah orang yang paling dicintai Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam
‘Amr bin Al Ash Radhiallahu’anhu bertanya kepada Nabi Shallallahu’alahi Wasallam:
أي الناس أحب إليك ؟ قال : عائشة . قال : قلت : من الرجال ؟ قال : أبوها
Siapa orang yang kau cintai?. Rasulullah menjawab: ‘Aisyah’. Aku bertanya lagi: ‘Kalau laki-laki?’. Beliau menjawab: ‘Ayahnya Aisyah’ (yaitu Abu Bakar)” (HR. Muslim)
10. Abu Bakar Ash Shiddiq adalah khalil bagi Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam
Imam Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu’anhu, ia berkata:
خطب رسول الله صلى الله عليه وسلم الناس وقال : إن الله خير عبدا بين الدنيا وبين ما عنده فاختار ذلك العبد ما عند الله . قال : فبكى أبو بكر ، فعجبنا لبكائه أن يخبر رسول الله صلى الله عليه وسلم عن عبد خير ، فكان رسول الله صلى الله عليه وسلم هو المخير ، وكان أبو بكر أعلمنا . فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إن مِن أمَنّ الناس عليّ في صحبته وماله أبا بكر ، ولو كنت متخذاً خليلاً غير ربي لاتخذت أبا بكر ، ولكن أخوة الإسلام ومودته ، لا يبقين في المسجد باب إلا سُـدّ إلا باب أبي بكر
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkhutbah kepada manusia, beliau berkata: ‘Sesungguhnya Allah Ta’ala memilih hamba di antara dunia dan apa yang ada di dalamnya. Namun hamba tersebut hanya dapat memilih apa yang Allah tentukan’. Lalu Abu Bakar menangis. Kami pun heran dengan tangisan beliau itu, hanya karena Rasulullah mengabarkan tentang hamba pilihan. Padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lah orangnya, dan Abu Bakar lebih paham dari kami. Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Sesungguhnya orang yang sangat besar jasanya padaku dalam kedekatan dan kerelaan mengeluarkan harta, ialah Abu Bakar. Andai saja aku diperbolehkan mengangkat seorang kekasihku selain Rabbku pastilah aku akan memilih Abu Bakar, namun cukuplah persaudaraan se-Islam dan kecintaan karenanya. Maka jangan ditinggalkan pintu kecil di masjid selain pintu Abu Bakar saja’
11. Allah Ta’ala mensucikan Abu Bakar Ash Shiddiq
Allah Ta’ala berfirman:
وَسَيُجَنَّبُهَا الأَتْقَى * الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّى * وَمَا لأَحَدٍ عِندَهُ مِن نِّعْمَةٍ تُجْزَى * إِلا ابْتِغَاء وَجْهِ رَبِّهِ الأَعْلَى * وَلَسَوْفَ يَرْضَى
Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya, Padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridaan Tuhannya Yang Maha Tinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan” (QS. Al Lail: 17-21)
Ayat ini turun berkenaan dengan Abu Bakar Ash Shiddiq. Selain itu beliau juga termasuk as sabiquunal awwalun, dan Allah Ta’ala berfirman:
وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.  Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah: 100)
12. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memberi tazkiyah kepada Abu Bakar
Ketika Abu Bakar bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
من جرّ ثوبه خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة . قال أبو بكر : إن أحد شقي ثوبي يسترخي إلا أن أتعاهد ذلك منه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إنك لست تصنع ذلك خيلاء
Barangsiapa yang membiarkan kainnya terjulur karena sombong, tidak akan dilihat oleh Allah pada hari kiamat. Abu Bakar berkata: ‘Sesungguhnya salah satu sisi sarungku melorot kecuali jika aku ikat dengan baik. Rasulullah lalu berkata: ‘Engkau tidak melakukannya karena sombong”” (HR. Bukhari dalam Fadhail Abu Bakar Radhiallahu’anhu)
13. Abu Bakar Ash Shiddiq didoakan oleh Nabi untuk memasuki semua pintu surga
من أنفق زوجين من شيء من الأشياء في سبيل الله دُعي من أبواب الجنة : يا عبد الله هذا خير ؛ فمن كان من أهل الصلاة دعي من باب الصلاة ، ومن كان من أهل الجهاد دُعي من باب الجهاد ، ومن كان من أهل الصدقة دُعي من باب الصدقة ، ومن كان من أهل الصيام دُعي من باب الصيام وباب الريان . فقال أبو بكر : ما على هذا الذي يدعى من تلك الأبواب من ضرورة ، فهل يُدعى منها كلها أحد يا رسول الله ؟ قال : نعم ، وأرجو أن تكون منهم يا أبا بكر
Orang memberikan menyumbangkan dua harta di jalan Allah, maka ia akan dipanggil oleh salah satu dari pintu surga: “Wahai hamba Allah, kemarilah untuk menuju kenikmatan”. Jika ia berasal dari golongan orang-orang yang suka mendirikan shalat, ia akan dipanggil dari pintu shalat, yang berasal dari kalangan mujahid, maka akan dipanggil dari pintu jihad, jika ia berasal dari golongan yang gemar bersedekah akan dipanggil dari pintu sedekah” (HR. Al Bukhari – Muslim)
14. Abu Bakar Ash Shiddiq melakukan banyak perbuatan agung dalam sehari
Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
: من أصبح منكم اليوم صائما ؟ قال أبو بكر رضي الله عنه : أنا . قال : فمن تبع منكم اليوم جنازة ؟ قال أبو بكر رضي الله عنه : أنا . قال : فمن أطعم منكم اليوم مسكينا ؟ قال أبو بكر رضي الله عنه : أنا . قال : فمن عاد منكم اليوم مريضا ؟ قال أبو بكر رضي الله عنه : أنا . فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ما اجتمعن في امرىء إلا دخل الجنة
“Siapa yang hari ini berpuasa? Abu Bakar menjawab: ‘Saya’”
“Siapa yang hari ini ikut mengantar jenazah? Abu Bakar menjawab: ‘Saya’”
“Siapa yang hari ini memberi makan orang miskin? Abu Bakar menjawab: ‘Saya’”
“Siapa yang hari ini menjenguk orang sakit? Abu Bakar menjawab: ‘Saya’”
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lalu bersabda: ‘Tidaklah semua ini dilakukan oleh seseorang kecuali dia akan masuk surga’
15. Orang musyrik mensifati Abu Bakar Ash Shiddiq sebagaimana Khadijah mensifati Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
Mereka berkata tentang Abu Bakar:
أَتُخْرِجُونَ رَجُلًا يُكْسِبُ الْمَعْدُومَ وَيَصِلُ الرَّحِمَ وَيَحْمِلُ الْكَلَّ وَيَقْرِي الضَّيْفَ وَيُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ
“Apakah kalian mengusir orang yang suka bekerja untuk mereka yang tidak berpunya, menyambung silaturahim, menanggung orang-orang yang lemah, menjamu tamu dan selalu menolong di jalan kebenaran?” (HR. Bukhari)
16. Ali Radhiallahu’anhu mengenal keutamaan Abu Bakar Ash Shiddiq
Muhammad bin Al Hanafiyyah berkata, aku bertanya kepada ayahku, yaitu Ali bin Abi Thalib:
أي الناس خير بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم ؟ قال : أبو بكر . قلت : ثم من ؟ قال : ثم عمر ، وخشيت أن يقول عثمان قلت : ثم أنت ؟ قال : ما أنا إلا رجل من المسلمين
Manusia mana yang terbaik sepeninggal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam? Ali menjawab: Abu Bakar. Aku berkata: ‘Kemudian siapa lagi?’. Ali berkata: ‘Lalu Umar’. Aku lalu khawatir yang selanjutnya adalah Utsman, maka aku berkata: ‘Selanjutnya engkau?’. Ali berkata: ‘Aku ini hanyalah orang muslim biasa’” (HR. Bukhari)
Sikap Zuhud
Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu’anhu meninggal tanpa meninggalkan sepeserpun dirham atau dinar. Diriwayatkan dari Al Hasan bin Ali Radhiallahu’anhu:
لما احتضر أبو بكر رضي الله عنه قال : يا عائشة أنظري اللقحة التي كنا نشرب من لبنها والجفنة التي كنا نصطبح فيها والقطيفة التي كنا نلبسها فإنا كنا ننتفع بذلك حين كنا في أمر المسلمين ، فإذا مت فاردديه إلى عمر ، فلما مات أبو بكر رضي الله عنه أرسلت به إلى عمر رضي الله عنه فقال عمر رضي الله عنه : رضي الله عنك يا أبا بكر لقد أتعبت من جاء بعدك
Ketika Al Hasan sedang bersama Abu Bakar Radhiallahu’anhu, Abu Bakar berkata, wahai ‘Aisyah tolong perhatikan unta perahan yang biasa kita ambil susunya, dan mangkuk besar yang sering kita pakai untuk tempat penerangan, dan kain beludru yang biasa kita pakai. Sesungguhnya kita mengambil manfaat dari itu semua saat aku mengurusi urusan kaum muslimin. Jika aku mati, kembalikanlah semuanya kepada Umar. Maka ketika Abu Bakar wafat, ‘Aisyah mengirim semua itu kepada Umar Radhiallahu’anhu. Umar pun berkata: ‘Semoga Allah meridhaimu wahai Abu Bakar, sungguh lelah orang yang datang setelahmu’
Sikap Wara’
Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu’anhu adalah orang yang wara’ dan zuhud terhadap dunia sampai-sampai ketika ia menjadi khalifah, ia pun tetap pergi bekerja mencari nafkah. Umar bin Khattab pun Radhiallahu’anhu melarangnya dan menganjurkan ia untuk mengambil upah dari baitul maal, menimbang betapa beratnya tugas seorang khalifah.
Dikisahkan pula dari ‘Aisyah Radhiallahu’anha, ia berkata:
كان لأبي بكر غلام يخرج له الخراج ، وكان أبو بكر يأكل من خراجه ، فجاء يوماً بشيء ، فأكل منه أبو بكر ، فقال له الغلام : تدري ما هذا ؟ فقال أبو بكر : وما هو ؟ قال : كنت تكهّنت لإنسان في الجاهلية وما أحسن الكهانة إلا أني خدعته ، فلقيني فأعطاني بذلك فهذا الذي أكلت منه ، فأدخل أبو بكر يده فقاء كل شيء في بطنه . رواه البخاري
Abu Bakar Ash Shiddiq memiliki budak laki-laki yang senantiasa mengeluarkan kharraj (setoran untuk majikan) padanya. Abu Bakar biasa makan dari kharraj itu. Pada suatu hari ia datang dengan sesuatu, yang akhirnya Abu Bakar makan darinya. Tiba-tiba sang budak berkata: ‘Apakah anda tahu dari mana makanan ini?’. Abu Bakar bertanya : ‘Dari mana?’ Ia menjawab : ‘Dulu pada masa jahiliyah aku pernah menjadi dukun yang menyembuhkan orang. Padahal bukannya aku pandai berdukun, namun aku hanya menipunya. Lalu si pasien itu menemuiku dan memberi imbalan buatku. Nah, yang anda makan saat ini adalah hasil dari upah itu. Akhirnya Abu Bakar memasukkan tangannya ke dalam mulutnya hingga keluarlah semua yang ia makan” (HR. Bukhari)
Wafat beliau
Beliau wafat pada hari Senin di bulan Jumadil Awwal tahun 13 H ketika beliau berusia 63 tahun.
Semoga Allah meridhainya dan mengumpulkan kita bersamanya di surga kelak.

[Diterjemahkan dari http://www.saaid.net/Doat/assuhaim/126.htm dengan beberapa peringkasan, takhrij dan tash-hih hadits dari penulis] —
Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel ini dikutip  dari Muslim.Or.Id

Perjanjian Hudaibiyah

saudi-arabia-map 
Perjanjian Hudaibiyah adalah perjanjian antara kaum Muslimin Madinah dengan kaum musyrikin Mekah. Perjanjian yang ditandatangani di lembah Hudaibiyah, pinggiran Mekah, ini terjadi pada tahun ke-6 setelah Rasulullah hijrah dari Mekah ke Madinah. Pada saat itu rombongan kaum Muslimin yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad SAW hendak melakukan ibadah haji. Namun mereka dihalang- halangi masuk ke Mekah oleh kaum musyrik Quraisy warga Mekah. Rasulullah pun mengajak mereka bernegosiasi sampai akhirnya kedua belah pihak sepakat untuk mengadakan perjanjian damai.
Inti isi Perjanjian Hudaibiyah adalah sebagai berikut:
1.Gencatan senjata antara Mekah dengan Madinah selama 10 tahun.
2.Warga Mekah yang menyeberang ke Madinah tanpa izin walinya harus dikembalikan ke Mekah.
3.Warga Madinah yang menyeberang ke Mekah tidak boleh kembali ke Madinah.
4.Warga selain Mekah dan Madinah, dibebaskan memilih untuk berpihak ke Mekah atau Madinah.
5.Pada saat itu, Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya harus meninggalkan Mekah, namun diperbolehkan kembali lagi ke Mekah setahun setelah perjanjian itu, dan akan dipersilahkan tinggal selama 3 hari dengan syarat hanya membawa pedang dalam sarungnya (maksudnya membawa pedang hanya untuk berjaga- jaga, bukan digunakan untuk menyerang). Dalam masa 3 hari itu kaum Quraisy (Mekah) akan menyingkir keluar dari Mekah.
Sekilas isi perjanjian tersebut sama sekali tidak menguntungkan bagi kaum Muslimin, dan hanya menguntungkan kaum Quraisy Mekah. Ini bisa kita cermati satu persatu isinya:
1.Gencatan senjata sudah tidak diperlukan oleh kaum Muslimin, karena kaum musyrikin sebenarnya dalam posisi lemah karena sebelumnya kalah telak dalam Perang Ahzab/ Khandaq. Kemauan mereka bernegosiasi juga menunjukkan kelemahan posisi mereka. Kalau kuat, mereka pastilah langsung menyerang kaum Muslimin yang hendak datang ke Mekah.
2.Jika penduduk Mekah tidak boleh menyeberang ke Madinah, jelas jumlah kaum Muslimin tidak akan bertambah, sedangkan kaum Quraisy tidak akan berkurang.
3.Jika penduduk Madinah yang pergi ke Mekah tidak diperbolehkan untuk kembali ke Madinah, tentu warga Madinah akan berkurang.
4.Poin ke-4 ini bisa disebut imbang.
5.Kaum Muslimin yang sudah menempuh perjalanan jauh ke Mekah, namun kini harus pulang tanpa bisa menunaikan haji. Tahun berikutnya pun, mereka hanya boleh tiga hari di Mekah, tentu tak cukup untuk berhaji.
Tak heran bila perjanjian ini sangat mengecewakan sebagian kaum Muslimin. Bahkan Umar bin Khattab sempat memprotes isi perjanjian ini. Ketika Nabi Muhammad SAW memerintahkan umatnya untuk menyembelih hewan kurban yang telah mereka siapkan sebagai tanda berakhirnya ibadah Haji, tidak ada satu pun yang bersegera mematuhinya, mungkin karena bingung atau protes kepada Rasulullah.
Namun lambat laun akhirnya terbukti, ternyata Nabi Muhammad SAW mempunyai visi politik yang sangat hebat, yang orang lain tidak mampu menangkapnya. Demi kerahasiaan strategi, beliau tidak mengungkapkan rahasia di balik perjanjian itu. Setelah kemenangan Islam terjadi, kita bisa mengambil pelajaran, bahwa paling tidak ada dua hal penting yang dihasilkan Perjanjian Hudaibiyah tersebut:
1.Perjanjian ini ditandatangani oleh Suhail bin Amr, sebagai wakil kaum Quraisy. Suku Quraisy adalah suku paling terhormat di daerah Arab, sehingga siapapun akan menghormati apa yang mereka tentukan. Dengan penandatanganan perjanjian ini, maka Madinah diakui sebagai suatu daerah yang mempunyai otoritas sendiri. Jika Suku Quraisy telah mengakui, maka suku- suku lain pun pasti mengakuinya.
2.Dengan perjanjian ini, maka pihak Quraisy (Mekah) memberi kekuasaan kepada Madinah untuk menghukum mereka jika menyalahi perjanjian tersebut. Ternyata sangat hebat konsekuensi dari perjanjian ini. Kaum Muslimin Madinah yang tadinya dianggap bukan apa- apa, sejak perjanjian itu berada dalam posisi bisa menghukum suku yang paling terhormat di Arab. Perlu diketahui bahwa Islam melarang memerangi suatu kaum atau seseorang tanpa orang atau kaum tersebut melakukan kesalahan. Ini bisa dilihat dalam Al Qur’an Surat Al Hajj ayat 39- 40.
Dengan keuntungan yang didapat dari Perjanjian Hudaibiyah itu, Nabi Muhammad berusaha mengukuhkan status Madinah dengan cara mengutus berbagai utusan kepada pemimpin negara- negara tetangga, di antaranya Mesir, Persia, Romawi, Habasyah (Ethiopia), dan lain- lain. Selain itu beliau juga menyebar pendakwah untuk menyebarkan Agama Islam.
Selain itu, adanya jaminan bahwa kaum Quraisy tidak akan memusuhi kaum Muslimin, kaum Muslimin pun bisa dengan leluasa menghukum kaum Yahudi Khaibar yang telah mendalangi penyerangan terhadap kaum Muslimin Madinah dalam Perang Ahzab/ Khandaq. Ini yang beliau lakukan sehingga kaum Yahudi pun di kemudian hari tidak berani lagi mengganggu Madinah.
Selain itu, Nabi Muhammad SAW tahu betul karakter orang- orang Mekah. Beliau yakin bahwa mereka akan melanggar perjanjian itu sebelum masa berlakunya selesai. Dan hal itu memang terjadi, sehingga Rasulullah memiliki landasan hukum untuk melakukan penaklukan kota Mekah. Penaklukan Mekah terjadi damai tanpa pertumpahan darah karena kaum musyrikin sudah tidak berdaya lagi.

Src : Liputan Islam.Com

Sunni-Syiah Produk Sejarah

Prof DR
Oleh: Prof. Dr. Phil. H. Kamaruddin Amin, M.A.*

Ketika Sunni dan Syiah mengakui tuhan yang sama, nabi yang sama, Alquran yang sama, kiblat yang sama, syahadat yang sama, mengapa perbedaan harus dibesar-besarkan?
Sunni dan Syiah adalah dua mainstream Islam yang sama-sama post-quranic. Keduanya terbentuk setelah wahyu berhenti diturunkan dan setelah nabi Muhammad saw wafat. Perselisihan paham antarkeduanya berlangsung sejak terbentuknya aliran tersebut di masa-masa awal Islam sampai hari ini. Keduanya saling perang ayat dan riwayat, bahkan tidak jarang keduanya saling mengafirkan. Kontestasi perebutan pengaruh juga berlangsung dari dulu hingga sekarang dan kontak fisik sering tidak terhindarkan. Begitu parahkah perbedaan antarkeduanya sehingga tak ada secercah harapan mendekatkan kedua kekuatan dahsyat Islam ini?
Hasil diskusi intensif penulis (bersama dengan beberapa doktor dan guru besar UIN Alauddin) dengan beberapa Ayatullah (ulama otoritatif) Syiah di Hawza Ilmiah Syiah di jantung peradaban Syiah di Qum, Iran, mengungkap sejumlah fakta menarik yang dipatut dipertimbangkan dalam rangka mendekatkan kedua mainstream besar Islam ini.
Sejumlah isu-isu kritis kami diskusikan secara akademik dan kepala dingin. Kami ke Iran mengikuti workshop ilmiah dengan membawa sejumlah pemahaman apriori tentang Syiah. Di antaranya adalah asumsi bahwa kitab suci Syiah (Alquran) berbeda dengan kitab suci (Alquran) Sunni. Asumsi ini bukan tanpa dasar karena disebutkan dalam ratusan riwayat dalam kitab al-Kafi karya al-Kulayni (salah satu dari empat kitab yang dianggap oleh Syiah sebagai kitab suci kedua setelah Alquran, kurang lebih sama dengan Sahih Bukhari dan Sahih Muslim yang diyakini oleh Sunni sebagai kitab kedua setelah Alquran) bahwa terdapat manipulasi atau perubahan (tahrif) terhadap Alquran yang ada sekarang.
Menurut al-Kulayni penulis kitab otoritatif tersebut, Alquran yang ada di tangan kaum muslimin Sunni sekarang sebagian telah diubah. Inilah salah satu penyebab mengapa kaum muslimin Sunni di dunia termasuk di Indonesia, memandang Syiah sesat karena meyakini ketidakaslian Alquran.
Begitu kami sampai di Iran kami langsung memeriksa Alquran Syiah. Bahkan kami dibawa ke tempat percetakan Alquran dan diberi hadiah Alquran. Ternyata, Alquran Syiah dengan Alquran Sunni tidak ada bedanya sama sekali. Ketika penulis menanyakan hal ini kepada salah seorang Ayatullah di Hawza, beliaupun menjawab tak ada perbedaan. Yang menarik adalah informasi dari kitab al-Kafi berbeda dengan kenyataan di lapangan. Ketika kami menanyakan hal tersebut, Ayatullah menjawab kami tidak menganggap al-Kafi sebagai kitab suci yang tidak mungkin salah. Di situ banyak kesalahan yang kami kritisi, berbeda dengan kalian di Sunni yang menjadikan Sahih al-Bukhari sebagai kitab suci yang tidak boleh dikritisi. Saya sempat sedikit tersindir dengan jawaban tersebut.
Menurut Ayatullah yang lain, sudah terbit banyak buku yang mengkritik al-Kafi karya al-Kulayni. Poin ini penting karena kitab ini sering dijadikan sumber oleh Sunni untuk menyerang kaum Syiah, sementara kitab ini sendiri sudah dikritik oleh Syiah.
Poin selanjutnya tentang sahabat. Dalam literatur-literatur yang ditulis kaum Sunni disampaikan bahwa Syiah hanya menerima hadis-hadis yang diriwayatkan oleh ahlul bait atau keluarga nabi, sementara hadis yang diriwatkan oleh sahabat-sahabat yang lain mereka tolak mentah-mentah, bahkan mereka, kaum Syiah mencerca sahabat. Para Ayatullah yang sempat kami ajak diskusi mengingkari hal itu. Mereka mengatakan bahwa sepanjang hadis tersebut bisa dibuktikan otentisitasnya dari nabi, siapapun sahabat yang meriwayatkan kami terima. Abu Bakar, Umar dan Usman adalah sahabat nabi yang mereka hormati. Poin ini sangat substantif karena pendapat tentang sahabat nabi telah dan sedang menjadi sumber konflik antara kedua mainstream Islam ini.
Bahkan, ada di antara Ayatullah yang menjelaskan bahwa sedang ada konspirasi besar untuk mendiskreditkan Iran (Syiah) yang bertujuan untuk memecah-belah umat Islam. Iran adalah negara Islam terbesar dan terkuat, baik secara ekonomi, karakter, budaya dan politik dan paling resisten terhadap pengaruh hegemoni Barat yang sama sekali tidak bisa didikte oleh Amerika. Terdapat tidak kurang dari 200 chanel televisi di luar negri, terutama di Amerika, yang dibuat dalam bahasa Parsi untuk mendiskreditkan Iran, untuk menyerang budayanya. Stasiun televisi inilah yang sering memunculkan padangan-pandangan miring yang berpotensi menimbulkan kesalahpahaman terhadap Iran secara khusus dan Syiah secara umum, agar Syiah dan saudaranya Sunni tidak bisa bersatu menurut Ayatullah tersebut.
Tentang nikah mut’a (kawin kontrak), sungguh berbeda dengan apa yang kami pahami sebelumnya. Nikah mut’a memang dibenarkan oleh ulama Syiah dengan riwayat-riwayat yang menurut mereka dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya. Bahkan argumentasi quranipun dapat mereka tunjukkan. Menurut mereka, nikah mut’a dipraktikkan pada masa nabi. Banyak sahabat yang telah mempraktikkannya. Nanti pada masa Umar bin Khattab, khalifah kedua, Nikah mut’a dilarang. Mengapa sesuatu di masa nabi dibolehkan kemudian dilarang oleh Umar? Riwayat-riwayat tersebut tentu bisa diperdebatkan, tetapi bukan tempatnya di sini mendiskusikannya. Tetapi, meskipun demikian nikah mut’a di kalangan Syiah tidak semudah dan semurah yang dibayangkan.
Nikah mut’a memang masih ada di Iran, tetapi sangat terbatas. Di samping harus tercatat di catatan sipil, juga bukanlah trend terhormat di masyarakat. Praktik nikah mut’a sangat jarang dan hanya dalam kasus tertentu. Di tempat lain, praktik nikah mut’a sering dieksploitasi dan dijadikan sebagai instrumen mengumbar nafsu. Nikah mut’a tentu tidak dimaksudkan untuk tujuan-tujuan tersebut.
Perbedaan yang paling mendasar yang diakui oleh mereka adalah tentang khilafah. Mereka meyakini bahwa yang berhak menjadi khalifah setelah nabi adalah Ali, bukan Abu Bakar, Umar dan Usman. Keyakinan tersebut tentu di-back up oleh riwayat-riwayat yang mereka yakini kesahihannya. Konsep imamah dan wilayatul faqih adalah tema yang juga menarik dan sangat panas dalam diskusi kami, tetapi keterbatasan halaman ini menyebabkan penulis tidak mengurainya di sini.
Poin yang penulis ingin sampaikan adalah baik Sunni maupun Syiah memiliki argumennya masing-masing, memiliki dasar-dasar dari Alquran dan hadis masing-masing. Sunni dan Syiah berbeda dalam memahami teks, berbeda dalam menilai keabsahan sumber atau riwayat-riwayat. Tetapi, ketika Sunni dan Syiah mengakui tuhan yang sama, nabi yang sama, Alquran yang sama, kiblat yang sama, syahadat yang sama, mengapa perbedaan harus dibesar-besarkan. Apatah lagi kalau perbedaan-perbedaan itu dipahami dari sumber yang tidak tepat.
Bagi Sunni yang ingin mengetahui substansi pemikiran dan hakikat ajaran Syiah sebaiknya membaca dari literatur Syiah, bukan dari sumber yang tidak suka kepada Syiah. Begitu pula sebaliknya, kelompok Syiah harus fair membaca literatur otoritatif Sunni untuk mengetahui esensi pemahaman Sunni. Mungkin dengan cara itu, Sunni dan Syiah dapat bersinergi membangun peradaban Islam di masa yang akan datang/ Amien. Wallahu a’lam.
*) Dosen Fakultas Adab dan Humaniora, Pembantu Rektor Bid. Kerjasama, Guru Besar UIN Universitas Islam Negri Alauddin Makassar, Project Manager of the Development and Upgrading of Islamic University of Alauddin, financed by Islamic Development Bank. (Liputan Islam/ Kamaruddin/ AF)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | LunarPages Coupon Code